Jumat, 21 Oktober 2011 - 0 komentar

rindu itu


Sepoi angin datang membawa kabar, "sebentar lagi hujan.." katanya. Daun-daun jati mulai berkemas, riuh ramai ingin menyambut. "Ini hari raya rindu.." sahut mereka. 

Hujan datang membawa damai, pada setiap bulirnya yang berpendar surya, tersimpan cinta. Sedang kau kekasihku, serbuk bintangmu meramaikan semesta. Dengan kasih, dengan cinta, meruah di bening hatimu.

Kau tahu? Detik ini aku mengingatmu dengan cara yang paling manis. Aku bisa saja menuliskannya sebagai puisi di sini atau mengutip bait-bait sajak penyair lembut yang kamu suka itu. Pun bisa juga dengan membuat prosa untukmu. 

Jumat, 21 Oktober 2011 - 1 komentar

kepada bidadari


telah lewat dua azan lalu kuterima pesanmu sayang. setelah aku menekur diri di rumah kekasih kita pada jeda magrib dan isya.

pun kusadari sesuatu, jika hijab nyata diantara kita diangkat olehNya, maka kita dapat melihat betapa jiwaku jiwamu saling merindui dalam syahdu dekapNya.

sayang, separuh nafasmu kini yang kuhirup untuk hidup. ya. aku tahu, akan fatal bagiku jika kau tak ada. namun kuyakin dan 'tlah menjadi do'a di lisan hatiku tiap pagi dan petang
: rindu ini tak kan tersia.
rindu ini 'kan tetap ada di kehidupan berikutnya.

rinduku menjadi cambuk 'tuk meraih surgaNya. lalu aku akan tersenyum saat maut datang menjemput. sambil berbisik kepada jiwamu, "kutunggu kau di pintu surga. atas nama cinta, jadilah bidadariku di sana.."

***
--- NoName 
Jumat, 21 Oktober 2011 - 0 komentar

sajak kecil untuk pelangi


tempias hujan menyisa di jendela
bagai kabut menjelma tirai
jemari terbata, satu nama tak tereja
namamu, sebutan sepi
untuk taman di beranda surga
yang kau ceritakan dengan puisi
tertulis di pelepah kenanga
rindu melati, selembar dahlia
awan putih dan lengang suara
hening berpendaran, cahaya-cahaya
seutas senyum dan kerling mata
hadirmu, tilam rindu di pucuk tiara
adalah gema detak jantung di hati
adalah rintih desir darah di nadi
serenade rangkai komposisi
alun lembut gemawa shimponi
senyum pagi di wajahmu yang pelangi

***
Jumat, 21 Oktober 2011 - 0 komentar

rindu senja tadi

matahari terluka wajahnya. lidah api menjuntai-juntai jatuh ke bumi. gerah. merah tanah batu. terkapar. gelepar rasa di dada. riuh suara-suara, di hati di jiwa. sahut-menyahut seperti gema di gunung karang. namamu namamu, tersebut namamu. berulang-ulang. diulang-ulang. seperti mantra. seperti do'a. memanjati langit jiwa. tanpa tangga. tanpa tali temali. dipeluk bidadari, didekap malaikat bersayap putih. melayang-layang, henti laju logika. luahan rasa menjadi raja. menggenangi sampai leher. tenggelam. larut. lena. tinggalkan bekas lebam. semakin dalam. semakin kelam. hitam. menatah jejak jelaga di nadi kiri. terisis. tercabik. koyak, lalu pasi. akh! jiwa merenggang. gelisah. resah. aku? sekarat.
Jumat, 21 Oktober 2011 - 0 komentar

perjamuan rasa


tuan, inikah jamuan terakhir sebelum dinyanyikan kidung-kidung surga di penghujung senja. sepanjang syair yang terdengar seperti kecemasan akan kehilangan.

duh, tak ada gerimis senja ini, cuma jingga yang memuai. ah, kemana diberangkatkan rindu ini? aku bertanya..

cemas di pucuk senja selalu mungkin tergurat. barangkali gundah dalam jingga yang mengundang sendu. tapi senja hanya sebentar. biar saja jingga lebur dalam samudera, bersama merah mentari yang menyaga. hingga sempurna malam menggenapi bait syairmu.

puan, kini dengar jawabku
: selalu ada ruang untukmu di pelataran bumi, bila rindu menuju.

Jumat, 21 Oktober 2011 - 0 komentar

semesta kita: satu


mari sini, engkau yang kunamai kekasih. gubahkan aku puisi tentang syair-syair biru. tentang rinduku yang merenda warna bunga dari suntingan sayap kupu-kupu. guratkan rasamu di dinding kenang, biar kujamu seluruh bait-bait mu di atas altar pemujaan.

sudah kugubah senja menjadi puisi. bait-bait rindu lelaki sepi. apatah lagi yang kau cari duhai bidadari yang gelisah di atas batu?

apakah bait tentang indah bunga di taman? bahkan kaulah bunga itu. barangkali tentang sinar bulan saat ia purnama? bahkan kubangunkan kota di atasnya. lupakah? Atilan, kota kita di bulan. tempat bintang berpendar merah. atau bait-bait hujan kah? aih, wajahmu telah pula kulukis dengan senyum awan. tempat hujan diberkati dalam do'a para dewa.

kau tahu, bahkan sesayap biru kupu-kupu tetap mengepak di bawah rinaimu yang belati itu. walau akhirnya koyak dan tercabik sayapnya. mengonggok bersama debu di sudut siang yang jalang. sayap-sayap biru bertahap menjadi hitam.

kupu-kupu itu kini menjelma kepompong, pada biru resahnya gundah saat kau melupa. tapi ia selalu kembali, untukmu.

: lalu recik rinaimu untukku, masihkah membiru?

Kamis, 20 Oktober 2011 - 0 komentar

semesta pagi


apa yang ingin disampaikan hujan kepada bumi. ketika pagi menulis puisi di ranting pilu. membawa basah di dahan haru. menjadi cerita yang tak pernah usai, enggan menemu titik. seperti rindu, sebagai rindu. pada setiap jejak sebutanmu.

padahal rindu telah mengendap begitu lama, telah fasih mengeja nama kita, seperti duka yang penuh warna ketika tiba-tiba kau memejam dan mengubah rindu jadi sebuah perangkap. sepertinya aku ingat tanganmu menjalarkan hangat dalam setiap genggaman ketika diam-diam kau mengukir sajak
: huruf demi huruf di atas telapak tanganku.

yang tergetar, tak terbiar. adalah musim yang mengikuti rengkuh fajar. adalah basah penghujan, adalah sekarat rindu-rindu dalam sakral doa-doa . menderas mantra detak keheningan waktu, dalam kediaman yang kita maafkan.