Senin, 17 September 2012 - 0 komentar

Bismillah, Aku Merestuimu


Dari sekian juta detik sejak kebersamaan kita, satu yang kutahu, bahwasanya aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Kita seperti dua orang asing yang bertemu di kedai kopi. Berbagi cerita, lalu akrab tanpa rencana kemudian menyatu dalam satu jiwa, satu semesta. Kita bersepakat menyebut semesta itu: bintang merah kesayangan.

Pagi ini, aku mengingkari pengetahuan usang tentangmu agar siang nanti aku siap menerima kau apa adanya. Tidak kuizinkan segala apa yang terkira kemarin menjadi stigma bagi hadirmu kini. Biarlah kau yang selalu baru di mataku menjadikan aku seorang yang tidak tahu.

Bukankah ketidaktahuan itu menyenangkan? Selalu saja ada kejutan-kejutan kecil yang menyengat seperti aliran listrik di kepalamu. Tapi toh semua akan reda, walau sering kali resah tercipta. Namun tetap kan berlalu bukan? Ah, tanpa sadar, aku dan kamu telah menjadi ahli yang tak pernah pejam dalam limbung gundah membadai. Tidakkah?

Sayangku,
"Perubahan adalah abadi," kata sang bijak. Aku percaya itu. Aku percaya ketika kisah bintang merah bermula; kita adalah dua bocah kecil yang sedang belajar mengenali. sebagaimana saat pertama kali ia belajar merangkak, berdiri, lalu berjalan. Sengaja atau tidak, kadang kita hendak melompat, berlari, mengejar sesuatu di depan mata. Lupa? Sekeras apa pun usahamu, sesungguhnya pada segala sesuatu mempunyai ajalnya sendiri-sendiri.


Ya. Kita butuh api. tapi cukup sepercik saja. Tidak perlu terbakar bersama bukan? Menjaga bara tetap hangat di kedalaman jiwa bukan dengan menyiram minyak di atasnya, sebagaimana cinta yang tumbuh perlahan, layaknya biji yang keluar dari cangkangnya. Retak, kemudian menjadi tunas, hingga akhirnya ia menemukan jalannya sendiri - tujuan penciptaannya sendiri: mengirimkan bahagia ke dalam hati manusia melalui buahnya yang ranum lagi manis. Semanis senyum matahari pagi ini, senyum di bibirmu yang madu.

Sayangku,
bahwa mencintai dan dicintai bukan soal perbandingan baik atau tidak baik, benar atau salah bahkan kepada apa pun neraca norma yang coba engkau pasangkan kepadanya. Bukan! Ingatlah, cinta adalah kehendak takdir ketika Tuhan berkenan menuliskan namamu di selembar hati.

"Sebab aku dan kamu tidak perlu menjadi lilin untuk saling menerangi. Tidak! Aku pun kamu tak perlu leleh saat hendak memberi cahaya."

Sayangku,
jadilah bintang yang mencintai dengan sederhana. Begitu pula saat engkau mereguk cinta dariku, dia atau mereka; insan lemah pemilik tulus.
Jadilah bintang yang menemukan kebahagiaan pada hal-hal yang sederhana pula.

Duhai engkau, bintang yang tidak akan pernah terbit lagi di langitku
: Bismillah, aku merestuimu

#1 : 02/12

0 komentar:

Posting Komentar